Perhimpunan Indonesia biasa disingkat PI merupakan
perhimpunan politik pelajar Indonesia di negeri Belanda yang berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia. Perhimpunan yang pada mulanya bernama Indosische
Vereniging merupakan organisasi sosial yang bertujuan memperhatikan kepentingan
bersama penduduk Hindia Beleanda di negeri Belanda. Lama kelamaan muncul
kepentingan politik di kalangan mereka dan akhirnya corak perhimpunan ini
berubah menjadi corak politik.
Seusai perang dunia I tahun 1918, pelajar dan mahasiswa Indonesia
di Belanda makin banyak. Perasaan nasionalisme dan antikolonialisme serta anti
imperialisme di kalangan mereka semakin menonjol, sehingga dalam Indische
Vereniging muncul dua kelompok. Yang pertama kelompok moderat, dipimpin oleh
seorang Indonesia yang terkenal sebagai penyair dalam bahasa Belanda, Noto
Suroto. Mereka kemudian mendirikan organisasi bernama
Nederlands-Indonesische-Verbond dengan tujuan tetap memelihara hubungan Hindia
Belanda dengan Belanda. Kelompok kedua yang bersifat progresif, mempunyai
tujuan politik ke arah Indonesia Merdeka. Lebih-lebih sejak adanya seruan
Presiden Amerika Woddrow Wilson tentang hak kemerdekaan bangsa-bangsa dan
bangkitnya seluruh bangsa terjajah di Asia dan Afrika menuntut kemerdekaan,
kesadaran tentang hak bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri dan
merdeka dari penjajahan semakin kuat.
Sejalan dengan perkembangan ini, pada tahun 1922, Indische
Vereniging berubah nama menjadi Indonesische Vereniging. Bahkan sejak tahun
1925, di samping nama Indonesische Vereniging, juga digunakan nama perhimpunan
Indonesia, dan lama kelamaan tinggal nama perhimpunan Indonesia saja yang
digunakan. Dengan demikian, Perhimpunan Indonesia semakin tegas bergerak di
bidang politik. Asas perhimpunan Indonesia adalah “mengusahakan suatu
pemerintahan untuk Indonesia, yang bertanggung jawab hanya kepada rakyat
Indonesia, dan hal ini hanya dapat dicapai oleh bangsa Indonesia, tidak
pertolongan apapun”. Untuk mempercepat tercapainya tujuan ini, segala jenis
perpecahan harus dihindarkan.
Meskipun pada hari itu Volksraad telah dibentuk, pemerintah
Hindia Belanda tidak bertanggung jawab kepada Volksraad, melainkan kepada
pemerintah Nederland. Dengan Demikian, jelas bahwa Perhimpunan Indonesia
menuntut Volksraad diganti dengan parlemen yang sebenarnya, sehingga pemerintah
bertanggung jawab kepada parlemen Indonesia.
Sejak tahun 1923, Perhimpunan Indonesia aktif berjuang untuk
tujuan yang diinginkan, dan sejak tahun ini pula, perhimpunan Indonesia keluar
dari Indonesische Verbond van Stunderenden, suatu perkumpulan gabungan
organisasi mahasiswa Indonesia, Belanda, Indo Belanda dan peranakan Cina yang
berorientasi pada Indonesia dalam satu kerja sama, karena dianggap tidak perlu
lagi. Pada tahun ini pula Perhimpunan Indonesaia menerbitkan sebuah buku
yang menggemparkan kolonialis Belanda, berjudul Gedenkboek 1908-1923 Indonesische
Vereneging. Majalah bulanan Hindia Putra yang diterbitkan sejak
tahun 1916 kemudian diubah menjadi Indonesia Merdeka.
Politik Perhimpunan Indonesia makin bergeser ke arah
perjuangan kemerdekaan Indonesia terutama sejak datangnya dua meahasiswa yang
kemudian menjadi ketua Perhimpunan Indonesia, yakni Ahmad Subarjo pada tahun
1919 dan Mohammad Hatta pada tahun 1921. Pada permulaan tahun 1925 disusunlah
suatu anggaran dasar baru yang merupakan penegasan tujuan Perhimpunan
Indonesia, yakni tercapainya kemerdekaan Indonesia. Ditegaskan dalam anggaran
dasar baru ini bahwa kemerdekaan penuh bagi Indonesia hanya akan diperoleh
dengan aksi bersama yang dilakukan serentak oleh seluruh kaum nasionalis dan
berdasarkan kekuatan sendiri. Untuk itu sangat diperlukan kekompakan seluruh
rakyat.
Sementara itu, kegiatan Perhimpunan Indonesia meningkat
menjadi non-kooperatif dengan meninggalkan sikap kerja sama dengan kaum
penjajah. Di tingkat nasional, Perhimpunan Indonesia berusaha agar masalah
Indonesia mendapatkan perhatian dunia. Mereka membina hubungan dengan beberapa
organisasi internasional, seperti komintern, Liga Penentang Imperialisme dan
Penindasan Kolonial yang di bentuk di Jerman, dan mengikuti kongres-kongres
internasional yang bersifat humanis. Dalam kongres ke-6 Liga Demokrasi
Internasional yang diadakan di Paris pada bulan Agustus 1926, Mohammad Hatta dengan
tegas menyatakan tuntutan untuk kemerdekaan Indonesia. Kejadian ini menyebabkan
pemerintah Belanda mencurigai Perhimpunan Indonesia. Kecuriagaan ini makin
bertambah ketika Mohammad Hatta, atas nama Perhimpunan Indonesia,
menandatangani suatu perjanjian (rahasia) dengan Semaun pada bulan Desember
1926 yang isinya menyatakan bahwa PKI mengakui kepemimpinan
Perhimpunan Indonesia dan bersedia bekerja sama menghidupkan perjuangan
kebangsaan rakyat Indonesia di bawah kepemimpinan Perhimpunan Indonesia.
Dalam kongres ke-1 Liga Penetang Imperialisme dan Penindasan
Kolonial di Brussels pada bulan Februari 1927 yang dihadiri antara lain oleh
wakil pergerakan negeri-negeri terjajah, Perhimpunan Indonesia atas nama PPPKI
di Indonesia juga mengirimkan wakilnya, yang terdiri atas Mohammad Hatta, Nazir
Pamoncak, Gatot dan Ahmad Subarjo. Kongres antara lain mengambil keputusan: (1)
Menyatakan simpati sebesar-besarnya kepada pergerakan kemerdekaan Indonesia dan
akan menyokong usaha tersebut dengan segala daya; (2) Menuntut dengan keras
kepada pemerintah Belanda agar memberikan kebebasan bekeja untuk pergerakan
rakyat Indonesia dan menghapus hukuman pembuangan dan hukuman mati.
Dalam kongres keduan yang diadakan di Brussels pada 1927,
Perhimpunan Indonesia juga ikut, dan keputusan yang diambil mengenai masalah
Indonesia sebenarnya merupakan ulangan keputusan kongres pada bulan Februari
sebelumnya. Akan tetapi setelah liga didominasi oleh golongan komunis,
Perhimpunan Indonesia segera keluar dari liga.
Propaganda selalu dilancarkan oleh Perhimpunan Indonesia.
Makin lama makin keras. Karena itu, pemerintah Belanda mengambil tindakan keras
pula terhadap Perhimpunan Indonesia. Pada bulan Juli 1927dilancarkan
penggeledahan di beberapa rumah kediaman pengurus Perhimpunan Indonesia
kemudian dituduh menghasut umum untuk mengadakan pemberontakan terhadap
pemerintah, dan pada tanggal 10 Juni 1927 empat anggota pimpinannya yakni
Mohammad Hatta, Abdulmajid Djojoadiningrat, Nazir Pamoncak, dan Ali
Sastromidjojo, ditangkap dan ditahan sampai tanggal 8 Maret 1928. Namun dalam
pengadilan tanggal 22 Maret 1928 di Den Haag, mereka dibebaskan dari tuduhan
karena tidak terbukti bersalah.
Di masa krisis dunia tahun 1930, Perhimpunan Indonesia
mengalami kemunduran dan makin lama makin tidak terdengar lagi. Hal ini
disebabkan terutama oleh banyaknya tokoh Perhimpunan Indonesia yang kembali ke
Indonesia. Sejak tahun 1930 juga, majalah Indonesia merdeka dilarang
masuk ke Indonesia.
Di Lingkungan pergerakan Indonesia sendiri, pengaruh Perhimpunan
Indonesia cukup besar antara lain terhadap berbagai pembentukan stidieclub,
seperti Indonesische Studieclub di Surabaya, Algmene Studieclub di
Bandung, studieclub-studieclub di Yogyakarta, Jakarta, Solo, dan sebagainya.
Selain itu, Perhimpuan Indonesia secara langsung mengilhami berdirinya Partai
Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927, Jong Indonesische pada tahun 1927,
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) pada tahun 1926.
Sumber : Ensiklopedi Nasional Indonesia, Buku Sejarah 2 SMA
kelas XI program IPA Penertbit Yudhistira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika kamu tidak mempunyai salah satu dari akun di komentar di bawah ini, kamu bisa berkomentar dengan menggunakan " Anonymous " dan tambahkan nama mu setelah komentar nya.